Rasanya perjalanan mencari jati diri adalah perjalanan yang
paling panjang dan melelahkan yang pernah kujalani. Tidak hanya perlu kejujuran
–yang berarti menghadapi semua rasa sakit dan tidak nyaman dari pengalaman masa
lalu- tetapi juga keberanian untuk menelusuri kembali semua pengalaman yang
sudah terjadi dalam diri,yang terungkap atau tidak, yang diceritakan atau
tidak, yang diingat atau tidak.
Aku merasa ada satu kebenaran yang berdiam di dalam diriku, selama ini setia menjaga siapa aku sebenarnya, untuk apa aku ada di dunia. Kebenaran ini tersimpan sangat jauh di dalam, tertutupi berbagai pengalaman dan kejadian, kalah suaranya dengan riuh rendah berbagai macam perasaan yang berkelindan menjadi sebab akibat. Hanya ketika aku sudah cukup lama melangkah dan mendengar dan membaca dan diam memperhatikan apa yang ada di sekitarku, aku akhirnya punya sedikit kemampuan untuk masuk ke dalam diri, dan mendengarkan kebenaran itu.
Begitu banyak campur tangan orang lain yang akhirnya mengarahkanku untuk menjadi suatu sosok tertentu sesuai apa yang tampak baik bagi masyarakat. Baju apa yang harusnya kupakai, pekerjaan apa yang harusnya kukerjakan, pendidikan yang harus kuenyam, bagaimana harusnya model baju, tas sepatu, jilbab, bagaimana harusnya laki-laki yang kupilih untuk jadi suami, bagaimana seharusnya aku segera punya anak, jadi ibu yang sempurna, dan bagaimana seharusnya aku segera punya anak lagi tidak jauh dari anak pertamaku yang bahkan masih sangat kecil. Hidup bertahun-tahun di bawah bayangan dikte banyak pihak di luar diriku perlahan melumpuhkan kemampuanku untuk menentukan sikap yang baik untuk diriku sendiri. Bertahun-tahun didikte dan dipaksa menurut atas nama menjadi anak yang baik dan solihah melumpuhkan kemampuanku mendengar nurani di dalam diriku sendiri.
Kuturuti semua maunya orang, di mana kau bekerja, bagaimana harusnya aku berpakaian, teman yang boleh dan tidak boleh kupergauli, batasan-batasan ke mana aku boleh pergi, jam-jam kapan aku harus pulang ke rumah, apa yang harus kukerjakan dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bertahun-tahun rasanya menjalankan tubuh bukan untuk diri sendiri tapi untuk orang lain. Hanya satu yang kuingat benar-benar kukuh kujalankan atas pilihanku sendiri, menikah.
Aku menikah dengan lelaki pilihanku sendiri, lelaki yang tidak tampak lebih hebat dari lelaki-lelaki pilihan keluargaku. Lelaki yang tidak terlalu bisa aku banggakan karena tidak memiliki hal-hal yang dianggap sebagai kelebihan bagi keluarga, tidak berpendidikan tinggi, tidak kaya, dan juga tidak ganteng-ganteng amat. Hanya seorang perantauan yang ngekos di rumah petak dengan motor matic lawas, tidak tampak keren samasekali. Tapi dialah yang kupilih karena hal-hal yang tidak muncul sebagai bahan pertimbangan bagi orang lain, tetapi sangat krusial bagiku. Dia laki-laki yang adaptif, pekerja keras, dan dari jarak ratusan kilometer dengan rumahnya masih bisa menjalin komunikasi dengan sangat baik dengan keluarganya. Jika seorang lelaki dinilai cinta keluarga karena suka memberi bunga dan mengingat tanggal ulangtahun, dia akan gugur di penilaian pertama. Dia tidak pernah memberi bunga, tidak juga ingat tanggal ulangtahun orangtuanya, tapi dialah anak lelaki yang bisa menjadi teman bertukar pikiran bagi bapak, bisa jadi orang yang menasihati ibu yang keras kepala ketika anak yang lain tidak bisa, yang bisa menjaga dari jauh keluarganya dengan bantuan finansial. Aku melihat komunikasi yang sehat saat dia di dalam keluarganya dan dia di lingkungan kerjanya. Aku tahu sekali dia tipe orang yang bisa diandalkan. Dan meskipun dia tidak bisa mempimpin pengajian seperti cita-cita ibuku tentang gambaran mantu ideal, sekalipun aku tidak pernah melihatnya alpa menjalankan solat 5 waktu, di manapun, dalam kondisi apapun, dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Setelah mendalami diriku sendiri dan melihat dirinya aku akhirnya tahu bahwa aku jatuh dengan dirinya, bukan dengan apapun yang melekat dalam badannya, jabatannya di kantor, atau prestasi-prestasinya.
Aku membayangkan jika semua hal itu terlucuti darinya, harta, pekerjaan, jabatan, apakah aku tetap mau dengannya. Aku menanyai diriku sendiri dalam diam dan mencari jawaban terjujur yang bisa kudapatkan, dan dari situlah aku sadar bahwa aku ingin menjalani hidupku bersama dengan orang ini. Perasaan itu bukan hanya sebuah perasaan bahagia karena akhirnya akan melepas masa lajang, melainkan juga sebuah perasaan lega karena telah menemukan orang yang sebenar-benarnya kamu cari tanpa menambah dan mengurangi satu poinpun dari yang kamu tetapkan dan tanpa menambah atau mengurangi satu poinpun dari dirimu sendiri agar dapat diterima. Kelegaan karena telah menemukannya dengan cara sejujurnya, meskipun harus melewati berbagai fase luka dengan orang-orang yang tidak tepat di perjalanan sebelumnya.
Dan keputusan ini, menikah dengannya, bukan hanya menjadi keputusan terbaik karena menikah dengan orang yang tepat, melainkan juga karena telah memilih partner yang tepat untuk menemaniku berani bertumbuh dan mengenali diri sendiri. Pernikahan ini bukan hanya sebuah awal untuk membangun rumah tangga, melainkan juga titik balik untuk menjemput diriku sendiri yang sudah sekian lama kubiarkan diam di sudut tak terlihat. Bersamanya aku jadi berani untuk jujur dan menjadi berani untuk memulai lagi menjadi aku yang aku inginkan selama ini, Meskipun jalan yang dilalui sangat berat dan menguras begitu banyak emosi dan air mata, tapi disitulah aku menyadari bahwa ini adalah langkah yang benar dan patut aku perjuangkan. Sebuah langkah untuk menjadi aku. Sebuah langkah untuk menjadi aku sendiri. Sebuah langkah untuk menjadi aku sendiri dengan berani.
Aku sering teringat hari-hari biasa di mana selalu
kusisipkan afirmasi pada anak perempuanku bahwa ia adalah anak yang berani.
Berkali-kali kukatakan itu, yang saking seringnya, tidak jarang ia
mengucakannya ulang di waktu-waktu tak terduga, bahwa ia adalah anak yang
berani, sambil melihat ke dalam mataku dengan dua bola matanya yang lugu,
mencari kebenaran itu, dan akan kuvalidasi perkataannya, bahwa benar ia adalah
anak yang berani. Sungguh aku sangat ingin ia tumbuh menjadi perempuan yang
berani, terutama berani menjadi dirinya sendiri dan menjemput takdir alasan
hidupnya di bumi. Sungguh aku sangat ingin ia tumbuh menjadi berani untuk
menghadapi aku, barangkali yang akan menjadi penghalang terbesarnya nanti, ketika
keberanianku surut dan ditelan berbagai kekhawatiran akan dunia yang kejam
padanya, sungguh aku ingin ia berani menghadapiku yang mungkin saja ingin
memperlambat laju langkah-langkahnya. Sungguh aku ingin ia berani mencintaiku
karena aku memang ibu yang layak untuk dia cintai sepenuh hati, karena dia
memang mau mencintaiku, bukan sekedar dia harus mencintaiku.
Menikah adalah satu bentuk kata kerja yang terjadi hanya satu hari namun memberi dampak amat panjang tidak hanya bagi dua orang yang melakukannya, tetapi juga orang-orang terdekat mereka. Demikian juga pernikahan bagiku memberi dampak yang sangat bagiku, bagi pasangan, bagi orangtua kami, anak kami, bahkan saudara kami. Pernikahan juga adalah proses yang masih akan terus berlanjut, bisa ke arah baik bisa juga sebaliknya, tergantung dari manusia yang menjalankannya. Cerita pernikahan ini masih akan terus bertambah dan menjemput takdirnya yang masih rahasia. Setidaknya bagiku, aku sudah memulainya dengan jujur dan baik, dua poin yang kuyakini menjadi titik awal penjaga kualitas pernikahan ini.
Comments
Post a Comment