Skip to main content

Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan karya Ester Lianawati - Ulasan Buku




Judul       : Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan, Psikologi Feminis untuk Meretas Patriarki

Penulis   : Ester Lianawati

Bahasa    : Indonesia

Penerbit : EA Books

291 halaman

          

Menyelidiki diri bukan proses yang nyaman. Kita diajak untuk kembali menghadapi luka-luka yang pernah kita alami, yang kita coba sembunyikan, yang kita tutupi dengan plester agar tidak terlihat padahal plester itu sama sekali tidak menyembuhkan. Menyelidiki diri membuka kelemahan-kelemahan kita, memunculkannya ke permukaan, dan ini sangat tidak mengenakkan. Namun, percayalah, hanya penyelidikan diri yang mampu mengantarkan menuju kebebasan. -

 

Merupakan buku tentang psikologi feminis pertama yang pernah aku baca.

Berisi 3 bagian besar dimana setiap bagian memuat beberapa tulisan yang saling berkaitan.

3 bab itu adalah

1. Feminis Apa dan Bagaimana

2. Semesta yang Tak Terlihat

3. Mari Kita Bicarakan Kekerasan Terhadap Perempuan

Sejujurnya bab pertama terasa sangat berat buatku yang awam soal psikologi feminis. Karena bab kedua terasa jauh lebih menarik, yasudah kuputuskan untuk langsung lompat baca, dan benar saja bab 2- selesai langsung khatam kubaca dalam sehari.

Memuat berbagai bentuk permasalahan yang dialami perempuan saat ini, tentu membacanya terasa dekat dengan diri sendiri.

 

Yang menarik dari buku ini

Penulis menyajikan respon masalah dari dua sudut pandang yaitu sebagai warga Indonesia dan warga Perancis, pembaca diberikan perbandingan cara pandang tentang satu isu dari dua negara yang berbeda. Di bab kedua ini juga ditemukan pembahasan tentang serigala dan hubungannya dengan jiwa perempuan, sebuah informasi yang baru dan menarik bagiku.   

Di Perancis, ada istilah ibu serigala. Untuk menggambarkan ibu yang menyayangi dan melindungi anaknya, tapi tidak overprotective. Ia mengajarkan anaknya untuk melindungi diri, melatihnya untuk menghadapi bahaya, bukan menghindarinya –halaman 108-



Serigala dituliskan sebagai binatang penyayang, pelindung, setia, sekaligus tanggguh. Gambaran ideal bagi penulis tentang bagaimana seharusnya perempuan masa kini. Serigala juga dituliskan sebagai makhluk liar, di mana liar tidak berarti didefinisikan negatif seperti tak terkendali, melainkan wujud kebersatuan dengan alam: menjalani kehidupan secara alami, mengikuti irama kehidupan dan aspirasi-aspirasi yang terdalam.

 

Jangan bayangkan perempuan liar sebagai sosok mengerikan. Ia adalah pribadi yang hangat dan autentik. Jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Tidak berpura-pura menikmati persahabatan hanya karena khawatir tidak punya teman. Dan tidak takut akan penolakan sosial.

Perempuan liar mampu beradaptasi sambil tetap menjadi diri sendiri. Ia menjalin persahabatan secara tulus, bukan untuk memenuhi kebutuhan diri dicintai atau dihargai. Ia sudah bebas dari kompleks semacam ini.

Karena telah mencintai dirinya sendiri, ia punya identitasnya sendiri. Ia tidak mengizinkan orang lain mengatakan apa yang harus ia lakukan. –halaman 110-

 

 

Penulis menyampaikan permasalahan perempuan yang jamak terjadi saat ini; tuntutan sosial tentang bagaimana seharusnya perempuan menjadi. Standar kecantikan dari ujung kepala sampai ujung kaki, tekanan untuk segera menikah, punya anak, tekanan menjadi super mom sekaligus istri sempurna yang menggiring perempuan untuk melakukan a b c dan akhirnya menjebak banyak perempuan yang merasa terhimpit tak punya banyak pilihan dalam masalah-masalah baru seperti hubungan beracun, dominasi rasa rendah diri, dan masalah kesehatan fisik maupun mental.

Namun, penulis juga menyampaikan hal yang sekiranya bisa jadi solusi agar perempuan yang memiliki masalah seperti di atas dapat bangkit keluar dari permasalahannya. Bahwa setiap orang bisa melakukan penginterpretasian ulang terhadap diri sendiri, tuntutan masyarakat, dan kondisi aktual berupa ketidaksempurnaan yang tengah dialami.

Penginterpretasian ulang dianggap mampu membantu perempuan untuk menemukan kembali identitas diri dan memilah mana bagian yang bisa ia ubah dan mana yang tidak. Untuk bagian yang bisa ia ubah, perempuan didorong dapat menciptakan kembali dirinya yang baru dan lebih positif. Sementara terhadap hal yang tidak bisa diubah seperti situasi, reinterpretasi diharapkan dapat membantu perempuan melihat potensi kebaikan yang bisa ia lakukan di dalam ketidaksempurnaan sekalipun. Sehingga membuka peluang perempuan untuk menjadi lebih sejahtera dari sebelumnya.

Penulis memberikan contoh-contoh perempuan yang berhasil berkarya dan tetap menunjukkan jati dirinya di dalam kondisi yang serba tidak mendukung seperti RA Kartini dan N.H. Dini.

 

 


Yang kurang dari buku ini

Aku cukup berharap bab pertama dibahas dengan bahasa yang lebih ringan, barangkali seperti Ompir membahas stoisisme di bukunya yang berjudul Filosofi Teras

Aku cukup terganggu dengan bab kekerasan yang dibahas di akhir dan diletakkan begitu saja tanpa satupun tulisan penutup seperti harapan penulis atau solusi yang sedang diusahakan oleh berbagai pihak, seolah meninggalkan rasa sakit yang sangat mendalam, tidak tuntas, menggantung, dan masih harus dilanjutkan, persis seperti nasib kebanyakan korban kekerasan saat ini. Kuharap ada tambahan tulisan yang menyiratkan optimisme di akhir penutup buku ini.

Dampak buku ini untukku pribadi

Di salah satu bagian buku ini ada tulisan khusus dari penulis tentang pengalaman traumatisnya, sungguh keputusan yang berani karena pasti tidak mudah. Aku sungguh-sungguh ikut merasakan kelegaan karena ia telah melepaskan trauma itu di dalam bukunya sendiri.

Disebabkan belum pernah baca buku psikologi feminis yang lain, aku tidak bisa membuat perbandingan apapun. Bagiku sendiri, buku ini sangat layak dibaca karena berhasil membuatku terpantik menulis satu tulisan berisi pengalaman pribadiku sebagai perempuan dengan airmata mengalir sangat deras dan ditutup sebuah kelegaan karena telah berani mengungkapkannya, setidaknya pada diriku sendiri.

Aku berterima kasih kepada penulis karena telah menulis buku yang mengandung daya pantik yang kuat bagi siapapun yang membacanya dengan hati terbuka.

Jika kamu perempuan dan membutuhkan teman untuk memanggil serigala dalam dirimu, mungkin buku ini salah satu jawabannya.


Rate 4,5/5

🌟🌟🌟🌟


Comments

Popular posts from this blog

Childfree and Happy, Keputusan Sadar Hidup Bebas Anak oleh Victoria Tunggono - Ulasan Buku

  Judul : Childfree and Happy, Keputusan Sadar Hidup Bebas Anak   Penulis : Victoria Tunggono Penerbit : EA Books Bahasa : Indonesia Jumlah Halaman : 150 halaman   “kebanyakan orang ingin punya anak. Tapi saya tahu anak bukanlah apa yang saya inginkan dalam hidup, apalagi dalam pernikahan.” Hidup adalah rangkaian keputusan atas pilihan-pilihan. Dari hal paling sederhana memilih pakai baju apa, masak atau beli, jemuran disetrika atau dilipat saja. Sampai pilihan sekolah, karir, sewa rumah atau beli, perkara memilih partner hidup, kb atau tidak. Perihal anak, beberapa tahun sebelum ini aku lebih familiar dengan topik pilihan jumlah anak dalam keluarga. Pendapat umum mengatakan satu terlalu sedikit, dua cukup, tiga sudah terhitung banyak meski tak sedikit yang akhirnya beranak empat bahkan lima. Kini aku tahu, ada golongan orang yang memiliki pilihan berbeda yaitu tidak punya anak samasekali. Golongan itu bernama childfree. Definisi Childfree atau bebas anak adalah pilihan

Filosofi Teras karya Henry Manampiring : Ulasan Buku

  Judul                     : Filosofi Teras Penulis                  : Henry Manampiring Ilustrasi                 : Levina Lesmana Jumlah Halaman  : 312 Bahasa                   : Bahasa Indonesia Penerbit                 : Kompas   Hai, untuk ulasan buku pertama di blog ini aku memilih buku yang menurutku spesial. Ini dia buku yang bertengger sepanjang tahun 2021 di rak-rak utama toko buku seantero negeri, best seller di banyak toko buku online. Akhirnya kuselesaikan di pertengahan tahun 2022. Inilah Filosofi Teras, dengan fokus hanya membahas 1 hal, sebuah filsafat yunani kuno bernama stoisisme. Filosofi Teras atau stosisme adalah aliran filsafat Yunani-Romawi purba berusia 2000 tahun yang memiliki tujuan: hidup dengan emosi negatif yang terkendali dan hidup dengan kebajikan. Filosofi Teras memperkenalkan istilah dikotomi kendali sebagai media yang bisa kita pakai untuk membedakan kejadian mana dalam hidup ini yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak. Filosof